Tingkat Spiritual Ayah Bentuk Pribadi Anak

Ingatkah anda kisah kerelaan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putra pertamanya, Ismail, atas perintah Allah s.w.t? Ketika Ibrahim berkata kepada putranya ia memiliki ilham bahwa Allah ingin ia menyembelih Ismail, sang putra patuh tanpa keengganan sedikit pun. Hal yang paling luar biasa dari kisah itu adalah, bagaimana Ismail begitu percaya sepenuhnya pada kebenaran ilham sang ayah.

Beberapa anak lelaki saat ini yang akan bereaksi serupa Ismail ketika orang tua berkata pada mereka, "Tuhan menginginkan aku mengorbankan dirimu?. Mungkin sebagian akan menjawab, "Apa Bapak sudah gila? Mereka mungkin bisa menerima gagasan berkorban untuk Allah, namun sulit meyakini ada hubungan kuat antara ayah dengan Allah, seperti yang dialami Ismail.

Inilah letak peran penting seorang ayah dalam keluarga. Kepercayaan mendalam hanya dapat dihasilkan dari hubungan sangat dekat.

Pun, Sang ayah, Nabi Ibrahim sama sekali tidak was-was dan bingung terhadap rencana masa depan putranya. Ismail pun tak memiliki tujuan besar lain selain mematuhi sang ayah, dan bersedia melakukan apa pun perintah Allah. Tentu saja mereka berdua nabi dan dari segi keutamaan dan kedudukan jauh dari manusia biasa.

Namun ada hal-hal besar yang dapat dipelajari oleh keluarga Muslim saat ini. Pemaparan dari ahli psikologi keluarga, Marria Husain, dari situs keluarga Zawaj berikut layak untuk dijadikan acuan.

Menghormati Kepercayaan Keluarga

Orang tua harus terus menjaga nilai kelayakan dan kepercayaan dalam keluarga dengan selalu mengarahkan tujuan rumah tangga untuk beribadah kepada Allah. Faktor pemimpin keluarga sangat besar di sini, yakni ayah. Kini berapa keluarga yang benar-benar membesarkan anak sebagai semata-mata ibadah dan ikhlas kepada Allah.

Sebaliknya berapa banyak keluarga Musim yang mengguyur anak-anak mereka dengan kencang dalam hal keuangan dan material, atau mendorong mereka untuk meraih sebanyak mungkin gaji, jabatan, kedudukan, ketenaran dan materi lain.

Banyak orang tua yang cenderung mengambil alih mimpi anak. Tentu orang tua ingin melihat anak mereka berhasil, sekolah di tempat baik, mendapat jodoh yang baik, tapi itu bukan segalanya dan belum tentu yang diinginkan orang tua juga diinginkan anak.

Anak-anak saat ini dikorbankan untuk jadwal yang padat, bahkan saat mereka di usia kanak-kanak. Orang tua pun tak bisa melepaskan diri dari harapan tinggi pada anak-anak sekaligus melupakan bahwa anak-anak pun berhak menuntut dari orang tua, yakni waktu, kebersamaan, dan kasih sayang. Dalam tradisi para nabi, bila pria menghabiskan waktu bersama keluarga akan dinilai sebagai ibadah.

Keluarga Butuh Cinta Ayah

Cukup memprihatinkan saat ini, banyak keluarga Muslim dikorbankan karena selip pemahaman sang ayah. Pemahaman itu membuat lelaki berkeluarga meninggalkan keluarga demi aktif di komunitas luar.

Saat ini, menurut Maria Hussein, para lelaki kadang berpikir berlebihan dengan menganggap keluarga akan menghalangi kecintaan terhadap Allah, sehingga mereka berjarak dengan istri dan anak-anak. Yang terjadi, para lelaki tipe ini memang kerap terlibat dalam pelayanan komunitas, berlama-lama dalam masjd, menolong orang lain, sementara di rumah hanya berbincang sekedarnya, melakukan aktifitas seperlunya karena energi telah terkuras di luar sebelum akhirnya tidur kecapaian.

Namun, itu masih lebih baik. Maria menuliskan ada lagi tipe yang lebih parah, yakni tipe yang berjarak dari keluarga karena mengejar material. Persamaan kedua tipe ayah itu, sama-sama tidak memandang keluarga sebagai alat untuk beribadah dan mendapat keikhlasan Allah. Kedua tipe ayah di atas menurut Maria, dapat memberi dampak buruk bagi anggota keluarga lain.

Sang istri mungkin, yang awalnya sukarela mendampingi suami dalam pernikahan dan membebaskan suami melakukan 'hal lebih penting' untuk Allah, akan mengubah pandangan. Istri bisa jadi merasa diabaikan dan ditolak. Itu pun sangat mungkin terjadi pada anak. Apalagi bila anak mulai merasakan tanda-tanda bila ibu jengkel terhadap ayah.

Dampak kemudian akan lebih buruk. Bila beberapa bulan atau tahun, anak-anak terbiasa tinggal tanpa ayah itu sangat beresiko. Akan muncul perasaan tidak lagi butuh sosok ayah dan akhirnya hilang perasaan kedekatan. Artinya si ayah sebenarnya telah 'kehilangan' anak mereka. Dalam kehidupan saat ini, tidak cukup bagi seorang ayah hanya datang dan membawa uang lalu merasa pekerjaan sudah beres.

Baik anak lelaki dan perempuan membutuhkan waktu bersama ayah. Anak lelaki yang terabaikan oleh ayah secara psikologi cenderung mengembangkan perilaku kasar, melanggar norma dan hukum dan selip secara seksual saat remaja.

Sementara anak perempuan yang tak mendapat cukup penghargaan, perhatian dan cinta kasih ayah akan lebih rentan dari serangan predator seksual. Hal itu karena, menurut Maria, dibawah sadar, mereka mencari kasih sayang atau peran pengganti ayah. Kebutuhan didorong perasaan putus asa untuk cinta kasih dan pengakuan kerap membuat remaja melakukan perilaku terlarang dan merusak.

Sementara anak-anak berbahagia yang mendapat kesempatan bersama sang ayah untuk bersenang-senang, beraktivitas bersama cenderung sedikit memiliki masalah sosial. Mereka bahkan akan mengembangkan pribadi lebih sehat, stabil dan memenuhi kewajiban pernikahan dengan baik pada tahun-tahun kemudian. itz

Republika Online

Selengkapnya...

Spanduk di Pintu Kota Istanbul: Anjing dan Israel Dilarang Masuk

Ketegangan hubungan antara Turki dengan Isrel rupanya akan terus berlanjut hingga tempo yang lama dan berbuntut panjang. Kondisi ini berpengaruh pada grafik hubungan ekonomi, dagang, dan wisata kedua negara yang menurun drastis dalam bulan-bulan terakhir ini.

Kedua negara yang pada mulanya sekutu termesra dan mitra terdekat di kawasan itu mulai mengalami kerenggangan hubungan pasca agresi Israel ke Jalur Gaza di akhir tahun lalu, yang disusul dengan kritikan tajam PM Turki atas agresi tersebut yang dihujamkan langsung di hadapan muka Presiden Israel Simon Perez pada KTT Ekonomi Davos, Swiss, awal tahun lalu.

Kini, kondisi kerenggangan kedua negara itu juga kembali tampak ketika Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu yang batal mengunjungi Israel di waktu dekat ini, atas pasal Davutoglu akan mengkhiri kunjungannya dengan menziarahi Jalur Gaza, wilayah "merah" Israel.

Davutoglu diundang oleh pemerintahan Israel untuk menghadiri konferensi internasional perpolitikan yang diprakarsai oleh Presiden Perez dan digelar di ibu kota Tel Aviv.

Davutoglu Turki menyambut baik undangan tersebut, tetapi ia meminta opsi untuk mengunjungi Jalur Gaza di sela-sela konferensi. Tentu saja, tanggapan Israel pun sudah dapat dipastikan: permintaan Davutoglu tidak dikabulkan.

Harian Israel Haaretz melansir, terkait tidak dikabulkannya permintaan Davutoglu tersebut, pemerintah Israel memiliki sejumlah alasan, salah satunya adalah kekhawatiran jika kunjungan menlu Turki itu akan diliput secara besar-besaran oleh pelbagai media dunia, khususnya Timur Tengah.

Kunjungan Davutoglu tersebut dikhawatirkan akan menjadi semacam bom waktu yang menyulut "kebangkitan" bangsa Arab dari "keterpurukan" mereka selama ini di hadapan tagedi Gaza dan Palestina. Hal ini maklum, karena Turki dipandang sebagai negara Muslim yang paling berpengaruh saat ini.

Respon terkait "penolakan" Israel terhadap permohonan menlu Turki itu pun jelas mendapatkan sorotan tajam dari dalam negeri Turki, baik dari pihak pemerintah atau pun sipil. Maklum, masyarakat Turki memiliki nasionalisme yang tinggi. Sebagian dari mereka juga memiliki superioritas di hadapan bangsa-bangsa Eropa, karena Turki pernah "menjajah" dan menaklukan Eropa, apalagi di hadapan Israel dan Arab.

Salah satu bentuk reaksi dari kalangan sipil, misalnya, terpampang sebuah spanduk besar yang dipajang di salah satu pintu kota Istanbul yang bertuliskan: anjing dan orang-orang Israel dilarang masuk.

>eramuslim.com< Selengkapnya...

Pulang Kampung Yuk...

Lebaran dan pulang kampung buat sebagian keluarga persis seperti ketupat dengan sayurnya. Terasa ada yang kurang jika satu terlewatkan. Cuma masalahnya, tidak semua keluarga mampu mengolah ‘sayur’ pulang kampung. Kalau pun ‘sayur’ ada, tetap saja terasa hambar.

Pulang kampung saat Lebaran punya dua sisi yang berbeda. Bahkan, mungkin bisa berlawanan. Satu sisi begitu menyenangkan: bisa ketemu bapak-ibu, kakek-nenek, pakde-pakle, dan lain-lain; bisa juga kangen-kangenan dengan tempat kelahiran. Berputarlah kenangan lama semasa kecil dan remaja. Pokoknya, sangat menyenangkan.

Sisi lain adalah yang kurang mengenakkan. Terutama buat mereka yang punya halangan. Ada halangan fisik seperti mabuk di kendaraan, juga halangan lain yang bukan cuma tidak mengenakkan tapi juga membingungkan. Apalagi kalau bukan urusan kantong.

Buat mereka yang di Jakarta dan kampungnya masih menyatu di peta kepala pulau Jawa, mungkin tidak begitu berat. Kisaran dana yang keluar masih hitungan ratusan ribu. Tapi buat mereka yang peta kampungnya ada di badan dan kaki Pulau Jawa, hitungannya mungkin bisa nyentuh jutaan. Dan yang parah buat mereka yang kampungnya tidak ada di peta Pulau Jawa, kantong yang terkuras bisa di atas dua juta rupiah. Bahkan mungkin, puluhan juta. Laa haula walaa quwwata illa billah.

Enak atau susah, pulang kampung tetap jadi pilihan. Ini karena pulang kampung punya makna lain dari sekadar kangen-kangenan. Yaitu, birrul walidain, berbuat baik kepada orang tua. Setidaknya, itulah yang kini diperjuangkan Bu Wiwin.

Ibu dua anak ini memang bukan asli Jakarta. Ia menikah karena pertemuan jodoh di kampus yang berdomisili di Jakarta. Ketika menjelang akhir masa kuliah, Allah menjodohkannya dengan pemuda di Jakarta. Menariknya, sang pemuda yang menjadi suami Bu Wiwin pun ternyata juga bukan orang Jakarta. Ia cuma sedang bekerja di Jakarta. Terjadilah perpaduan antara Bu Wiwin yang asli Jogya, dan suaminya yang keturunan Bengkulu.

Tak ada masalah, memang. Biar jauh dari orang tua, Bu Wiwin dan suaminya akur-akur saja. Problem baru muncul ketika Lebaran datang. Pasalnya, baik Bu Wiwin atau suami, keduanya butuh pulang kampung. Bu Wiwin ditunggu bapak dan ibu di Jogya, sementara suaminya ditunggu orang tuanya di Bengkulu. Repot kan?

Nggak mungkin pisahan sementara. Bu Wiwin ke Jogya tanpa suami, dan suaminya ke Bengkulu tanpa isteri. Lalu, gimana dengan anak-anak? Dan lebih nggak mungkin lagi, mereka berkeliling dua kampung dalam satu Lebaran.

Akhirnya, saat Lebaran tahun lalu sudah ada kesepakatan. Isinya, masing-masing pulang kampung dua Lebaran sekali. Satu lebaran ke kampung suami. Berikutnya ke kampung isteri. Dan tahun lalu, sudah ke Bengkulu. Lebaran tahun ini, harusnya ke Jogya.

Inilah saat-saat yang paling ditunggu Bu Wiwin. Kangennya bisa ketemu bapak ibu. Bu Wiwin yakin, begitu pun dengan kedua orang tuanya. Pasalnya, Bu Wiwin anak bungsu. Satu-satunya anak perempuan lagi. Tiga kakaknya laki-laki. Dan semuanya tinggal di kampung. “Duh, Bapak pasti sudah nunggu-nunggu,” suara batin Bu Wiwin mulai merajuk. Di Lebaran kali ini, cuma ada satu tekad Bu Wiwin: apa pun yang terjadi, harus pulang kampung!

Kekangenan Bu Wiwin kian menjadi ketika bapak dan ibu tidak nelpon-nelpon hingga satu bulan. Selama Ramadhan, praktis Bu Wiwin hidup tanpa sentuhan ‘kasih sayang’. Tanpa bisa manja-manja. Suatu hal yang biasa ia lakukan ketika masih lajang. Padahal biasanya, hampir seminggu sekali bapak atau ibu telpon ke rumah Bu Wiwin. Kalau mau telpon balik sangat tidak mungkin. Soalnya, bapak ibunya tinggal di pedesaan yang belum tersangkut kabel telpon.

Apa bapak ibu sedang sakit? Bu Wiwin kian gelisah. Di telponnya yang terakhir, bapak cuma bilang kangen saja. Bapak juga bilang, ingin lihat rumah anak kesayangannya di Jakarta. Tapi itu tergolong sulit buat mereka berdua. Di samping usianya yang enam puluhan, mereka baru sekali datang ke Jakarta. Itu pun karena ada undangan wisuda di kampus Bu Wiwin. Dan lagi, kalau anaknya masih bisa ke kampung, kenapa mesti orang tua yang ke kota. Kualat, dong!

Duh, gimana kabar bapak dan ibu. Apa mereka sehat-sehat saja di Jogya. Apa rematik bapak kumat lagi. Kenapa saya tidak dikabari. Pikiran Bu Wiwin terus berputar. Campur aduk antara gelisah, kangen, dan bingung.

Bingungnya, justru di giliran pulang ke kampungnya, tabungan Bu Wiwin dan suami lagi ludes. Itu terjadi karena anak pertama Bu Wiwin sempat terserang tipes dan dirawat di rumah sakit selama seminggu. “Duh, cobaan!”

Sesaat kemudian, Bu Wiwin tersadar. “Astaghfirullah!” gumamnya pelan. Cobaan memang bukan untuk dikeluhkan. Tapi harus diperjuangkan, agar alur hidup terus bergulir normal. Yap, harus dicari jalan keluar supaya bisa dapat duit buat pulang kampung. Tapi, kemana?

Mulailah Bu Wiwin dan suami nyari-nyari pinjaman. Mulai ke kantor suami, teman dekat, bahkan tetangga. Ternyata, tidak gampang pinjam uang di saat Lebaran. Supaya bisa dapat uang satu juta saja, mesti mengumpulkan pinjaman di tiga sumber. Itu pun memakan waktu satu minggu.

Walau Lebaran sudah lewat satu minggu, Bu Wiwin dan keluarga tetap pulang kampung. Mungkin di sinilah hikmahnya, kereta ke Jogya jadi tidak begitu penuh. Semua bisa duduk dengan nyaman.

Rasa kangen Bu Wiwin hampir tidak bisa lagi tertahan ketika rumah yang dituju terlihat jelas. “Pak, Bu! Wiwin pulang!” teriak Bu Wiwin sekeras-kerasnya. Teriakan kian ramai saat anak-anak Bu Wiwin ikut-ikutan. Tapi, tak satu suara pun menyahut. Rumah itu begitu sepi. Kemana bapak dan ibu?

“Eh, Wiwin, tho! Anaknya sudah sembuh?” suara seorang tetangga yang muncul menghampiri. “Lha, memangnya Nak Wiwin ndak tahu. Bapak dan ibu kan ke Jakarta. Ke rumah Nak Wiwin. Baru tadi pagi berangkat!” jelas sang tetangga agak prihatin.

“Bapaaak...! Ibuuu...!” teriak Bu Wiwin agak histeris. Ia pun menangis sejadinya.

(muhammadnuh@eramuslim.com)

eramuslim.com

Selengkapnya...

Mari Kita Tinggalkan Dunia Ini

Masih kurangkah kita mengais-ngais kehidupan dunia selama sebelas bulan ini? Masih kurang puaskah kita mengejar kenikmatan dunia yang tiada seberapa selama sebelas bulan ini? Masihkah waktu yang ada akan kita habiskan untuk bekerja, dan melupakan sang Pencipta ini? Selama sebelas bulan kita secara terus- menerus waktu yang kita miliki ini, kita habiskan dari pagi hingga malam hari untuk bekerja yang tujuannya hanya mendapatkan materi dunia, dan terkadang kita melupakan kehidupan hari akhirat.

Mulai besok kita sudah memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Mari mulai besok kita tinggalkan seluruh aktivitas untuk mengejar kehidupan dunia ini. Selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ini, kita beri’tikaf di masjid-masjid, di mana Allah Ta’ala akan memberikan maghfirah kepada hamba-hamba yang dekat dengan-Nya. Hamba-hamba yang selalu mengingat-NYa dengan beribadah shalat, berdzikir, puasa, membaca dan mentadzaburi Al-Qur’an, serta berzakat. Allah Azza Wa Jalla akan memberikan ampunan bagi hamba-hamba yang sungguh-sungguh dalam beribadah dan bermunajat memohon ampun, dan akan mendapatkan kemuliaan disisi-Nya, yaitu kelak di surga-Nya.

Tak ada gunanya kita mengejar dunia ini, karena dunia yang kita kejar, hakekatnya akan kita tinggalkan. Tak akan ada makhluk di muka bumi yang akan hidup selama-lamanya. Pasti suatu saat nanti kita akan meninggalkan dunia yang fana ini. Termasuk alam semesta ini, yang akhirnya nanti juga akan berakhir, saat datangnya hari Kiamat. Dan, kita semuanya akan kembali ke kampung akhirat, yang bersifat kekal, selama-lamanya. Kita akan berjumpa dengan Rabb, yang menciptakan alam semesta ini, dan kita akan mempertanggungjawabkan semua apa yang kita kerjakan selama di dunia ini.

Tentu, jika memahami tentang kehidupan akhirat nanti, maka selayaknya seluruh orang-orang mukmin, pasti akan menghentikan aktivitasnya selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Mereka akan hanya berada di masjid-masjid, dan tidak akan meninggalkan tempat yang mulia itu, dan mereka tidak akan berhenti-henti bibirnya mengucapkan istighfar, dan beribadah. Di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan inilah Allah Azza Wa Jalla akan menurunkan maghfirahnya saat datangnya ‘lailatul qadr’, yang lebih bernilai dibandingkan seribu bulan, bagi mereka yang akan mendapatkan maghfirah-NYa.

Bagi mereka yang di malam ‘lailatur qadr’, mendapatkan maghfirah-Nya, dan Allah Ta'ala menghapus dosa-dosa mereka. Maka, bagi mereka yang mendapatkan maghfirah-Nya, ketika ‘Ied datang, adalah orang-orang yang menang, serta dikatakan seorang hamba menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan, tanpa dosa apapun. Subhanallah.

Bila nilai-nilai ini dimengerti dan dipahami, mereka yang menjadi ekskutif, seperti Presiden, Wakil Presiden, para Menteri, dan para Pejabat negara, anggota Legislative, direktur BUMN, serta semua elemen dalam negara, pasti akan memerintahkan seluruh jajarannya berhenti beraktifitas, dan kemudian menunaikan ‘I’tikaf di masjid-masjid, sambil melakukan muhasabah (introspeksi) diri terhadap apa yang sudah diperbuat selama sebelas bulan sebelumnya. Sehingga, kehidupan ini akan mengalami pembaharuan menuju kehidupan, di mana seluruh rakyat dan orang-orang mukmin akan mendapatkan rahmat-Nya.

Menjelang ajalnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz, memanggil seluruh puteranya yang jumlahnya dua belas orang . Nampak seluruh putera-puterinya itu dalam keadaan terlantar, tubuhnya lunglai dengan rambut kusut masai. Wajahnya tampak kuyu merusak keelokan dan kecantikan rupa mereka. Mereka duduk mengelilingi ayahnya, Umar bin Abdul Aziz. Dan, satu persatu ditatap wajah mereka dengan penuh kasih-sayang, dan air mata Khalifah Umar jatuh berderai, kemudian mengucapkan kata secara terbata-bata kepada mereka :

“Wahai anakku sekalian,
Ayahanda diberi salah satu pilihan diantara dua pilihan.
Kalian hidup kaya, tetapi masuk neraka ..
Atau kalian hidup miskin tapi masuk surga ..
Maka, ayahandanya memilih surga ..
Dan, ayahanda lebih suka menitipkan kalian kepada Allah yang telah menurunkan Kitab, dan Dia akan melindungi orang-orang yang shaleh ..

Lalu, wajah Khalifah Umar bin Abdul Aziz berbinar-binar, sedang air mukanya berseri-seri. Ia tersenyum kepada putera-puterinya, kepada ibunya yang amat dimuliakannya, serta kepada isterinya yang amat setia, kemudian Umar mempersilahkan mereka meninggalkan dirinya.

Sepeninggal mereka, Khalifah Umar mengangkat kedua tangannya seakan-akan sedang menyambut dan mempersilahkan kedatangan tamu lama dinanti-nantikannya .. Memang saat itu, rombongan Malaikat suci, hamba-hamba Allah yang dekat dengan-NYa telah datang menjemputnya menunju tempat pelantikan yang telah disediakan baginya .., tempat yang abadi, surga Allah taman Firdaus ..

Orang-orang yang berada diluar kamar samar-samar mendengar Khalifah Umar membaca ayat-ayat al-Qur’an yang diulang-ulang : “(Kebahagiaandi) kampung akhrat itu Kami sediakan hanya bagi mereka yang tidak suka menyombongkan diri dan melakukan kerusakan di muka bumi. Dan, kesudahan yang baik itu adalah bagi mereka orang-orang yang taqwa”. (Al-Qashas :83).

Dan, Amirul Mukminin terus mengulang-ngulang ayat itu, sampai kepalanya terkulai, dan disambut bantalnya yang terbuat dari jerami. Kedua matanya yang selama ini tak dapat dipejamkan terhadap hak Allah dan umat, kini terpejam untuk selama-lamanya, dan wajahnya nampak bercahaya seperti sedang dalam keadaan tidur. Berbagahagialah engkau wahai Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Khalifah Umar tidak pernah melupakan akhirat. Meskipun, ditangannya telah menggenggam dunia (kekuasaan), tapi tak pernah tergoda sedikitpun oleh dunia, dia lebih mencintai Rabbnya. Wallahu’alam.

eramuslim.com

Selengkapnya...

Ciri-ciri Malam Lailatul Qodar

Assalaamua'laikum Wr.Wb

Ustadz tiga pertanyaan mengenai Lailatul Qodar.

1. Ciri-ciri akan/turunnya malam Lailatul Qadar dan sesudahnya turunnya Lailatul Qadar

2. Perbedaan waktu/jam dengan negara lain tentang turunnya Lailatul Qodar.

3. Ciri-ciri orang yang mendapatkan curahan rahmat Malam Lailatul Qodar (kalau kita pas lagi ibadah menyambut Lailatul Qadar, kebetulan malam itu Lailatul Qodar turun).

Itu saja pertanyaan saya, mudah-mudahan ustadz berkenan memberikan jawaban.

Terimakasih.

Wassalaamua'laikum Wr.Wb

Muhtadin

adin


Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Saudara Adin yang dimuliakan Allah swt

Ciri-ciri Lailatul Qodr

Dinamakan lailatul qodr karena pada malam itu malaikat diperintahkan oleh Allah swt untuk menuliskan ketetapan tentang kebaikan, rezeki dan keberkahan di tahun ini, sebagaimana firman Allah swt :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ ﴿٣﴾
فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ ﴿٤﴾
أَمْرًا مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ ﴿٥﴾


Artinya : ”Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad Dukhan : 3 – 5)

Al Qurthubi mengatakan bahwa pada malam itu pula para malaikat turun dari setiap langit dan dari sidrotul muntaha ke bumi dan mengaminkan doa-doa yang diucapkan manusia hingga terbit fajar. Para malaikat dan jibril as turun dengan membawa rahmat atas perintah Allah swt juga membawa setiap urusan yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di tahun itu hingga yang akan datang. Lailatul Qodr adalah malam kesejahteraan dan kebaikan seluruhnya tanpa ada keburukan hingga terbit fajar, sebagaimana firman-Nya :

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾


Artinya : ”Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qodr : 4 – 5)

Diantara hadits-hadits yang menceritakan tentang tanda-tanda lailatul qodr adalah :

1. Sabda Rasulullah saw,”Lailatul qodr adalah malam yang cerah, tidak panas dan tidak dingin, matahari pada hari itu bersinar kemerahan lemah.” Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah yang dishahihkan oleh Al Bani.

2. Sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qodr lalu aku dilupakan, ia ada di sepuluh malam terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin bagaikan bulan menyingkap bintang-bintang. Tidaklah keluar setannya hingga terbit fajarnya.” (HR. Ibnu Hibban)

3. Rasulullah saw bersabda,”Sesungguhnya para malaikat pada malam itu lebih banyak turun ke bumi daripada jumlah pepasiran.” (HR. Ibnu Khuzaimah yang sanadnya dihasankan oleh Al Bani)

4. Rasulullah saw berabda,”Tandanya adalah matahari terbit pada pagi harinya cerah tanpa sinar.” (HR. Muslim)

Terkait dengan berbagai tanda-tanda Lailatul Qodr yang disebutkan beberapa hadits, Syeikh Yusuf al Qaradhawi mengatakan,”Semua tanda tersebut tidak dapat memberikan keyakinan tentangnya dan tidak dapat memberikan keyakinan yakni bila tanda-tanda itu tidak ada berarti Lailatul Qodr tidak terjadi malam itu, karena lailatul qodr terjadi di negeri-negeri yang iklim, musim, dan cuacanya berbeda-beda. Bisa jadi ada diantara negeri-negeri muslim dengan keadaan yang tak pernah putus-putusnya turun hujan, padahal penduduk di daerah lain justru melaksanakan shalat istisqo’. Negeri-negeri itu berbeda dalam hal panas dan dingin, muncul dan tenggelamnya matahari, juga kuat dan lemahnya sinarnya. Karena itu sangat tidak mungkin bila tanda-tanda itu sama di seluruh belahan bumi ini. (Fiqih Puasa hal 177 – 178)

Perbedaan Waktu Antar Negara

Lailatul qodr merupakan rahasia Allah swt. Untuk itu dianjurkan agar setiap muslim mencarinya di sepuluh malam terakhir, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Carilah dia (lailatul qodr) pada sepuluh malam terakhir di malam-malam ganjil.” (HR. Bukhori Muslim).

Dari Abu Said bahwa Nabi saw menemui mereka pada pagi kedua puluh, lalu beliau berkhotbah. Dalam khutbahnya beliau saw bersabda,”Sungguh aku diperlihatkan Lailatul qodr, kemudian aku dilupakan—atau lupa—maka carilah ia di sepuluh malam terakhir, pada malam-malam ganjil.” (Muttafaq Alaihi)

Pencarian lebih ditekankan pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori Muslim dari Ibnu Umar bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah saw bermimpi tentang Lailatul Qodr di tujuh malam terakhir. Menanggapi mimpi itu, Rasulullah saw bersabda,”Aku melihat mimpi kalian bertemu pada tujuh malam terakhir. Karena itu barangsiapa hendak mencarinya maka hendaklah ia mencari pada tujuh malam terakhir.”

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw bersabda,”Carilah ia di sepuluh malam terakhir. Jika salah seorang kalian lemah atau tdak mampu maka janganlah ia dikalahkan di tujuh malam terakhir.” (HR. Muslim, Ahmad dan Ath Thayalisi)

Malam-malam ganjil yang dimaksud dalam hadits diatas adalah malam ke- 21, 23, 25, 27 dan 29. Bila masuknya Ramadhan berbeda-beda dari berbagai negara—sebagaimana sering kita saksikan—maka malam-malam ganjil di beberapa negara menjadi melam-malam genap di sebagian negara lainnya sehingga untuk lebih berhati-hati maka carilah Lailatul Qodr di setiap malam pada sepuluh malam terakhir. Begitu pula dengan daerah-daerah yang hanya berbeda jamnya saja maka ia pun tidak akan terlewatkan dari lailatul qodr karena lailatul qodr ini bersifat umum mengenai semua negeri dan terjadi sepanjang malam hingga terbit fajar di setiap negeri-negeri itu.

Karena tidak ada yang mengetahui kapan jatuhnya lailatul qodr itu kecuali Allah swt maka cara yang terbaik untuk menggapainya adalah beritikaf di sepuluh malam terakhir sebagaimana pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya.

Ciri-ciri Orang Yang Mendapatkan Lailatul Qodr

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dai Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa melakukan qiyam lailatul qodr dengan penuh keimanan dan pengharapan (maka) dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.”

Juga doa yang diajarkan Rasulullah saw saat menjumpai lailatul qodr adalah ”Wahai Allah sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi Maaf, Engkau mencintai pemaafan karena itu berikanlah maaf kepadaku.” (HR. Ibnu Majah)

Dari kedua hadits tersebut menunjukkan bahwa dianjurkan bagi setiap yang menginginkan lailatul qodr agar menghidupkan malam itu dengan berbagai ibadah, seperti : shalat malam, tilawah Al Qur’an, dzikir, doa dan amal-amal shaleh lainnya. Dan orang yang menghidupkan malam itu dengan amal-amal ibadah akan merasakan ketenangan hati, kelapangan dada dan kelezatan dalam ibadahnya itu karena semua itu dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan ridho Allah swt.

Wallahu A’lam

Ustadz Sigit Pranowo, Lc.

eramuslim.com

Selengkapnya...

Siapakah Ulil Amri Minkum Yang Sebenarnya?

Di dalam Al-Qur’an terdapat sebuah ayat yang sangat sering dikutip oleh para politisi Partai Islam terutama di musim kampanye menjelang Pemilu. Namun yang kita sayangkan ialah umumnya mereka mengutip ayat tersebut secara tidak lengkap alias sepotong saja. Lengkapnya ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)

Mengapa ayat ini begitu populer dikumandangkan para jurkam di musim kampanye? Karena di dalamnya terkandung perintah Allah agar ummat taat kepada Ulil Amri Minkum (para pemimpin di antara kalian atau para pemimpin di antara orang-orang beriman). Sedangkan para politisi partai tadi meyakini jika diri mereka terpilih menjadi wakil rakyat atau pemimpin sosial berarti mereka dengan segera akan diperlakukan sebagai bagian dari Ulil Amri Minkum. Dan hal itu akan menyebabkan mereka memiliki keistimewaan untuk ditaati oleh para konstituen. Selain orang-orang yang sibuk menghamba kepada Allah semata, mana ada manusia yang tidak suka dirinya mendapatkan ketaatan ummat? Itulah sebabnya ayat ini sering dikutip di musim kampanye. Namun sayang, mereka umumnya hanya mengutip sebaian saja yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS An-Nisa ayat 59)

Mereka biasanya hanya membacakan ayat tersebut hingga kata-kata Ulil Amri Minkum. Bagian sesudahnya jarang dikutip. Padahal justru bagian selanjutnya yang sangat penting. Mengapa? Karena justru bagian itulah yang menjelaskan ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum. Bagian itulah yang menjadikan kita memahami siapa yang sebenarnya Ulil Amri Minkum dan siapa yang bukan. Bagian itulah yang akan menentukan apakah fulan-fulan yang berkampanye tersebut pantas atau tidak memperoleh ketaatan ummat.

Dalam bagian selanjutnya Allah berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

”Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa ayat 59)

Allah menjelaskan bahwa ciri-ciri utama Ulil Amri Minkum yang sebenarnya ialah komitmen untuk selalu mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Para pemimpin sejati di antara orang-orang beriman tidak mungkin akan rela menyelesaikan berbagai urusan kepada selain Al-Qur’an dan Sunnah Ar-Rasul. Sebab mereka sangat faham dan meyakini pesan Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ

وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujurat ayat 1)

Sehingga kita jumpai dalam catatan sejarah bagaimana seorang Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu di masa paceklik mengeluarkan sebuah kebijakan ijtihadi berupa larangan bagi kaum wanita beriman untuk meminta mahar yang memberatkan kaum pria beriman yang mau menikah. Tiba-tiba seorang wanita beriman mengangkat suaranya mengkritik kebijakan Khalifah seraya mengutip firman Allah yang mengizinkan kaum mu’minat untuk menentukan mahar sesuka hati mereka. Maka Amirul Mu’minin langsung ber-istighfar dan berkata: ”Wanita itu benar dan Umar salah. Maka dengan ini kebijakan tersebut saya cabut kembali...!” Subhanallah, demikianlah komitmen para pendahulu kita dalam hal mentaati Allah dan RasulNya dalam segenap perkara yang diperselisihkan.

Adapun dalam kehidupan kita dewasa ini segenap sistem hidup yang diberlakukan di berbagai negara –baik negara Muslim maupun Kafir- ialah mengembalikan segenap urusan yang diperselisihkan kepada selain Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). Tidak kita jumpai satupun tatanan kehidupan modern yang jelas-jelas menyebutkan bahwa ideologi yang diberlakukan ialah ideologi Islam yang intinya ialah mendahulukan berbagai ketetapan Allah dan RasulNya sebelum yang lainnya. Malah sebaliknya, kita temukan semua negara modern yang eksis dewasa ini memiliki konstitusi buatan manusia, selain Al-Qur’an dan AsSunnah An-Nabawiyyah, yang menjadi rujukan utama kehidupan berbangsa dan bernegara. Seolah manusia mampu merumuskan konstitusi yang lebih baik dan lebih benar daripada sumber utama konstitusi yang datang dari Allah subhaanahu wa ta’aala.

Bila demikian keadaannya, berarti tidak ada satupun pemimpin negeri di negara manapun yang ada dewasa ini layak disebut sebagai Ulil Amri Minkum yang sebenarnya. Pantaslah bilamana mereka dijuluki sebagai Mulkan Jabbriyyan sebagaimana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sebutkan dalam hadits beliau. Mulkan Jabbriyyan artinya para penguasa yang memaksakan kehendaknya seraya tentunya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Adapun masyarakat luas yang mentaati mereka berarti telah menjadikan para pemimpin tersebut sebagai para Thoghut, yaitu fihak selain Allah yang memiliki sedikit otoritas namun berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan ummat sebagaimana layaknya mentaati Allah. Na’udzubillahi min dzaalika.

Keadaan ini mengingatkan kita akan peringatan Allah mengenai kaum munafik yang mengaku beriman namun tidak kunjung meninggalkan ketaatan kepada Thoghut. Padahal Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk meninggalkan para Thoghut bila benar imannya.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ

وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ

وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa ayat 60)

Sungguh dalam kelak nanti di neraka penyesalan mereka yang telah mentaati para pembesar dan pemimpin yang tidak menjadikan Allah dan RasulNya sebagai tempat kembali dalam menyelesaikan segenap perkara kehidupan.

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

رَبَّنَا آَتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (QS Al-Ahzab ayat 66-68)

Ihsan Tandjung

eramuslim.com



Selengkapnya...

Tidur Isteri

Tidur merupakan anugerah Allah yang sangat mahal. Dari nikmat itulah, tubuh kembali segar, pikiran pun lancar. Tapi tidak semua tidur sebagai obat manjur. Karena ada tidur yang membuat keharmonisan luntur.

Keluarga memang tempat aman untuk buka rahasia diri. Nyaris, tak ada lagi rahasia pribadi yang terus tersimpan sesama anggota keluarga. Yang pelit terlihat pelit. Yang ramah teruji ramah. Yang malas pun begitu. Semua warna pribadi menjadi tampak jelas dalam kehidupan keluarga.

Itulah mungkin kenapa Rasulullah saw. melarang suami menceritakan keadaan isterinya ke orang lain. Dan begitu pun sebaliknya. Biarlah dinding rumah menjadi penutup aurat anggota keluarga. Buat selama-lamanya.

Menariknya, ketika bangunan keluarga masih seumur jagung. Masing-masing pihak, belum paham seperti apa rahasia diri pasangannya. Pelitkah, rewelkah, penakutkah, manjakah, boroskah? Dan sebagainya. Saat itulah, suami atau isteri coba-coba menyelami kekurangan pasangannya.

Tentu saja, kekurangan bukan untuk dijatuhkan. Karena manusia mana yang hidup tanpa kekurangan. Itulah batu ujian, agar keluarga bisa menapaki anak-anak tangga keharmonisan. Setidaknya, hal itulah yang kini dirasakan Pak Juned.

Pemuda usia dua puluh empat tahun ini sedang memasuki masa pengantin baru. Sebulan sudah, hari bersejarah akad nikahnya berlalu. Masih terasa degup jantungnya ketika itu. Bingung, grogi, penasaran jadi satu. Kini, ia sedang menelusuri dunia lain yang belum pernah ia alami. Apalagi rasakan.

Salah satu yang ia rasakan saat ini adalah bagaimana mengenal sisi lain orang yang tiba-tiba tinggal sekamar dengannya. Orang yang sebelumnya sama sekali tidak pernah ia kenal. Kadang Juned mengangguk pelan karena ada yang baru ia pahami. Sering juga bingung.

Salah satu yang kerap membuat bingung Juned bukan karena isterinya rewel. Bukan juga pelit. Apalagi pemarah. Semua sifat buruk itu nyaris tak ada. Tapi, ada hal yang sulit dimengerti Juned. Isterinya punya dua sifat berlawanan dalam tidur: gampang di saat akan tidur, sulit ketika akan bangun.

Memang, sifat itu sama sekali tidak menyalahi akhlak Islam. Sungguh anugerah Allah yang luar biasa ketika seseorang bisa tidur dengan cara mudah. Tapi, kok ini mudah banget. Tidak boleh ada angin bertiup sepoi-sepoi, ada tempat buat sandaran kepala, cahaya redup; dan tidur pun datang membawa lelap. Tak kenal siang, apalagi malam.

Itulah sebabnya, Juned belum berani memboncengki isterinya dengan sepeda motor berjarak di atas dua puluh kilometer. Takut ketiduran. Kecuali di hari panas, atau di jalan yang belum beraspal. Mudah tidurnya bisa sedikit tertahan.

Buat sifat yang pertama mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi, yang kedua itu agak merepotkan. Dan di sinilah, kesabaran Juned mesti terus diuji.

Suatu kali, beberapa hari setelah habis masa cuti nikah, Juned pulang agak larut. Arlojinya menunjuk angka dua belasan. Dengan lembut, ia mengetuk pintu depan rumah kontrakannya. ”Assalamu’alaikum!” ucap Juned pelan. Tapi, kok nggak ada reaksi. Suasana rumah tampak masih belum ada tanda-tanda kehidupan. Sepi!

Ia ketuk lagi pintu agak keras. “Assalamu’alaikum!” suaranya berbeda dengan yang pertama. Tapi, respon tetap tak berubah. Hingga beberapa kali ia ulangi langkah satu dan dua, suasana mulai berubah. Akhirnya ada reaksi. Sayangnya, reaksi bukan datang dari dalam rumah. Tapi, dari sekitar rumah. Beberapa tetangga Juned terbangun dan keluar rumah. “Baru pulang, Pak!” ucap mereka agak menyindir. Tidak ada yang bisa dilakukan Juned kecuali senyum yang agak dipaksakan. “Maaf jadi terbangun,” ucapnya ramah.

Diam-diam, Juned memutar ke arah samping rumah. Persis di dekat lubang angin jendela kamarnya, ia berdiam diri. Mungkin, dari tempat itu suaranya bisa didengar sang isteri. “Assalamu’alaikum! Abang, Yang! Assalamu’alaikum!!” ucapnya hati-hati. Tapi, tetap belum ada reaksi.

Saat itulah, Juned teringat dengan akhlak Rasul. Beliau saw. memilih tidur di halaman ketimbang menyusahkan isterinya yang tertidur pulas. “Ah, kenapa aku tidak memilih cara itu,” batin Juned berbisik datar. Ia pun kembali ke halaman depan.

Dengan hati-hati, Juned menggeser rak sepatu, besi penjemur pakaian, dan dua kursi plastiknya. Setelah yakin lantai yang ia pilih tidak basah bekas siraman hujan, ia susun beberapa lembar kertas koran yang sempat mampir di tas kantornya. Dan, Juned pun mulai merebah.

Matanya mulai dipejamkan. Mulutnya pun berujar pelan, “Bismikallahumma ahya, wa....” Plak! Belum sempat doa tidurnya terucap rampung, beberapa nyamuk sudah menyerbu. Juned pun sibuk menangkal serbuan itu.

Posisi tubuhnya tidak lagi merebah. Tapi, duduk bersila. Sementara, nyamuk-nyamuk tak kenal kompromi, apakah Juned sedang mencontoh Rasul atau tidak. “Ya Allah, ternyata perbuatan Rasul itu tidak mudah. Sulit!” ucap Juned sambil mencoba berdiri.

Ia kembali ke tempat persis di sisi jendela kamarnya. “Yang, Abang pulang! Assalamu’alaikum!” ucap Juned agak mengeras. “Yang, Abang, Yang!” Tapi, suasana tetap tak berubah.

Juned seperti mencari-cari sesuatu. Ia kumpulkan beberapa koin limaratus rupiahan dari saku celananya. Sesaat kemudian, tangan kanannya melempar koin demi koin melalui celah lubang angin kedalam kamar. Klotak! Klotak! Hingga....

“Bismillah!” suara Juned sambil beraksi di koin keempat. “Aduh!” terdengar suara halus dari balik kamar. “Siapa, ya?” ucap sang isteri agak parau. “Abang, Yang. Abang. Assalamu’alaikum!” sahut Juned spontan. Dan, pintu depan pun mulai dibukakan seseorang.

eramuslim.com
Selengkapnya...